Opini

Belajar dari Perkara Diskualifikasi Calon oleh ‘Palu’ MK

Belajar dari Perkara Diskualifikasi Calon oleh ‘Palu’ MK

 

Oleh Kaharuddin

Anggota KPU Kabupaten Nunukan

 

DITENGAH persiapan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, ternyata masih ada daerah yang menyelenggarakan Pemilihan tahun 2020 hingga September 2021 ini belum tuntas pelaksanaannya. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo, di Provinsi Papua masih harus melaksanakan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pemungutan suara ulang (PSU) yang kedua kalinya.

Pemilihan di Yalimo ini salah satu yang disebut Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam forum webinar ‘Mencari Solusi Problem Pemilu dan Pilkada 2024 tanpa Revisi Undang Undang’ yang diselenggarakan KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 26 Agustus 2021 lalu. Sebagai narasumber, ia memberikan catatan kritis atas beberapa putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) pada tiga daerah, yakni Kabupaten Yalimo, Boven Digoel dan Sabu Raijua.

Menarik untuk dibedah. Bukan bermaksud lain, penulis ingin mengambil pelajaran berharga dari tiga kabupaten ini agar tidak terjadi persoalan serupa yakni diskualifikasi pasangan calon (Paslon) oleh MK sehingga harus dilaksanakan PSU di seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Karena pemilihan itu mahal, baik dari aspek materi, keamanan dan kondusifitas suatu daerah.

YALIMO

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo tahun 2020 diikuti dua paslon, yakni paslon nomor urut 1 Erdi Dabi-Jhon Wilil dan nomor urut 2 Lukius Peyon-Nahum Mabel. Pada pemungutan suara pertama, Erdi Dabi-Jhon Wilil mendapat perolehan suara terbanyak, kemudian hasilnya digugat Lukius Peyon-Nahum Mabel di MK.

Dari hasil sidang PHP-nya, putusan MK Nomor 97/PHP.BUP-XIX/2021 memerintahkan PSU di 105 TPS karena dinilai terbukti terjadi pelanggaran dari perampasan kotak suara, sehingga MK tidak meyakini proses pemungutan suaranya berlangsung satu orang satu suara. Singkat cerita diselenggarakanlah PSU pertama pada tanggal 5 Mei 2021.

PSU berjalan lancar. Hasilnya, paslon Erdi Dabi-Jhon Wilil tetap memperoleh suara terbanyak. Kemudian paslon Lukius Peyon-Nahum Mabel kembali menggugat dengan materi gugatan bahwa Erdi Dabi tidak memenuhi syarat calon karena merupakan menjadi mantan terpidana dengan ancaman paling lama 12 tahun yang belum melewati masa jeda 5 tahun.

Saat berstatus calon Bupati, Erdi Dabi dijatuhi pidana penjara 4 bulan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura bertanggal 18 Februari 2021 karena peristiwa kecelakaan kendaraan dan menabrak seseorang hingga menghilangkan nyawa. Putusan pengadilan itu inkraht, bahkan Erdi Dabi sudah selesai menjalani masa pemidanaannya.

Yang menarik, putusan pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap ini terjadi sebelum putusan MK tanggal 19 Maret yang memerintahkan PSU di 105 TPS di dua distrik. Bahkan PSU pertama tanggal 5 Mei berlangsung disaat ada fakta hukum baru yang terkait keterpenuhan syarat Erdi Dabi sebagai calon.

Dari hasil sidang PHP gugatan kedua, putusan MK Nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 mendiskualifikasi Erdi Dabi-Jhon Wilil dan memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan PSU di seluruh TPS. Yalimo langsung bergejolak. Pembakaran kantor KPU Yalimo, kantor Bawaslu, kantor Gakkumdu, gedung DPRD, kantor Dinas Kesehatan, kantor BPMK, kantor Perhubungan, dan Bank Papua. Hingga artikel ini ditulis, belum ada kabar lanjutan pelaksanaan PSU keduanya itu.

BOVEN DIGOEL

Masih di tanah Papua, kontestasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel tahun 2020 juga melalui proses diskualifikasi pasangan calon oleh majelis hakim MK. Sama seperti Yalimo, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dari hasil pemungutan suara awal, dibatalkan dan dicoret dari peserta pemilihan.

Pemilihan di Boven Digoel awalnya diikuti empat paslon, yakni nomor urut 1 Hengky Yaluwo-Lexi Romel Wagiu, nomor urut 2 Chaerul Anwar-Nathalis B Kaket, nomor urut 3 Marthinus Wagi-Isak Bangri dan nomor urut 4 Yusak-Yakob. Pasangan Yusak-Yakob mendapat perolehan suara terbanyak hasil pemungutan suara Desember 2020.

Hasilnya digugat di MK, tapi bukan terkait hasil perolehan suara, melainkan salah satu syarat calon Yusak tidak memenuhi persyaratan. Pencalonan Yusak sejak awal mengalami tarik-ulur. Mulanya diputuskan memenuhi syarat oleh KPU Boven Digoel, lalu dibatalkan oleh KPU RI, kemudian di-memenuhi syarat-kan lagi dengan putusan Bawaslu Boven Digoel dan akhirnya palu MK mendiskualifikasi paslon Yusak-Yakob.

Yusak terbukti tidak memenuhi syarat calon, karena merupakan mantan terpidana korupsi yang belum melewati masa jeda 5 tahun sejak masa pemidanaannya berakhir. Dalam menghitung masa jeda lima tahun ini, KPU dan Bawaslu berbeda pendapat tentang titik dimulai penghitungannya.

KPU menghitung jeda lima tahun sejak mantan terpidana selesai menjalani masa pemidanaannya atau bebas murni (bukan pembebasan bersyarat), sementara Bawaslu menghitungnya sejak terpidana keluar dari pidana kurungan penjara, termasuk sejak keluar dari penjara karena pembebasan bersyarat.

Disinilah akar persoalannya. Jika jeda lima tahun dihitung sejak Yusak mendapatkan pembebasan bersyarat, maka Yusak sudah melewati jeda lima tahun dan memenuhi syarat sebagai calon Bupati. Namun jika dihitung sejak Yusak selesai menjalani proses pemidanaannya atau bebas murni (bebas bersyarat belum dihitung), maka Yusak belum melewati masa jeda 5 tahun tersebut.

Akhirnya, majelis hakim MK berpandangan sama dengan KPU bahwa jeda lima tahun dihitung sejak Yusak tidak lagi berstatus terpidana atau selesai menjalani pemidanaannya, bukan sejak pembebasan bersyarat.

Kasus serupa sebenarnya juga terjadi dibeberapa daerah, yakni Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu, Kabupaten Dompu dan Lampung Selatan. Calon yang tidak memenuhi syarat karena belum melewati masa jeda lima tahun harus ditetapkan sebagai pasangan calon berdasarkan putusan Bawaslu setempat. Ini terungkap dalam fakta persidangan PHP.

PSU Boven Digoel dilaksanakan tanggal 7 Juli 2021 di seluruh TPS. Hasilnya paslon Hengky Yaluwo-Lexi Romel mendapat perolehan suara terbanyak. Hasil ini digugat lagi, namun dalam putusan MK yang dibacakan tanggal 31 Agustus lalu, menguatkan keputusan KPU Boven Digoel dan memerintahkan untuk menetapkan calon terpilih.

SABU RAIJUA

Berbeda dengan Yalimo dan Boven Digoel, persoalan diskualifikasi pasangan calon di Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur tahun 2020 ini dikarenakan status kewarganegaraan asing oleh salah satu calon. Pasangan calon peraih suara terbanyak, bahkan sudah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU Sabu Raijua dianulir MK dengan mendiskualifikasinya serta memerintahkan pemungutan suara ulang.

Semula, pemilihan di Sabu Raijua dikuti tiga pasangan calon. Yakni nomor urut 1, Nikodemus N-Yohanis Uly, nomor urut 2 Orient P Riwu Kore-Thobias Uly dan nomor urut 3 Takem Irianto-Herman Hegi. Hasil pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020, Orient P Riwu Kore-Thobias Uly mendapat perolehan suara terbanyak.

Proses tahapan setelah pemungutan suara berjalan lancar hingga penetapan pasangan calon terpilih dilakukan. Namun public heboh setelah surat jawaban dari kedutaan besar Amerika Serikat kepada Bawaslu, yang membenarkan status Orient P Riwu Kore sebagai warga Negara Amerika Serikat.

MK menerima gugatan meskipun sudah diluar masa tenggang pengajuannya. Pada akhirnya, putusan MK mendiskualifikasi pasangan calon Orient P Riwu Kore-Thobias Uly karena Orient dianggap tidak memenuhi syarat fundamental dalam keikutsertaan di pemilihan disebabkan berstatus warga negara asing. MK juga memerintahkan kepada KPU Sabu Raijua untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS. Akhirnya, PSU terlaksana pada tanggal 7 Juli 2021.

 

CATATAN KRITIS

  1. Serupa tak sama

Dari tiga putusan diskualifikasi pasangan calon ini, hanya putusan PHP Yalimo yang tetap memberikan kesempatan kepada calon wakil bupati yang terdiskualifikasi sebagai pasangan calon untuk tetap bisa berkontestasi. Sementara PHP Boven Digoel dan Sabu Raijua mendiskualifikasi pasangan calon tanpa ada memberikan kesempatan kepada calon wakilnya untuk kembali ikut sebagai peserta pemilihan.

Inilah yang menjadi catatan kritis yang disampaikan, karena menilai MK memutuskan berbeda untuk kasus yang serupa. Salahkah MK dalam pertimbangan dan putusannya?, menurut penulis, MK tidak salah.

Pemilihan di Yalimo, jumlah peserta pemilihan hanya dua pasangan calon, sehingga dengan terdiskualifikasinya satu pasangan calon, maka hanya menyisakan satu pasangan calon.

Sementara pemilihan di Boven Digoel diikuti empat pasangan calon yang menjadi tiga pasangan calon karena satu didiskualifikasi, serta pemilihan di Sabu Raijua diikuti tiga pasangan calon, sehingga dengan diskualifikasi 1 pasangan calon, masih menyisakan dua pasangan calon.

Ingat dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, bahwa pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, baru dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon.

Dalam pertimbangan itulah, MK memerintahkan kepada KPU Yalimo untuk kembali membuka pendaftaran pasangan calon, sehingga calon wakil Bupati Yalimo Jhon Wilil masih diberikan kesempatan untuk mendaftar kembali sebagai calon wakil bupati atau sebagai calon bupati, sepanjang memenuhi  persyaratan. Namun jika sampai batas waktu pendaftaran tidak ada yang mendaftar, maka pemilihan di Yalimo dilanjutkan dengan satu pasangan calon.

  1. Tafsir ulang ‘sebelum hari pemungutan suara’

Dari PHP Yalimo, catatan penting bahwa fakta hukum baru tentang Erdi Dabi sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, sudah ada sebelum putusan MK atas PHP pertama tanggal 19 Maret, bahkan jauh sebelum pelaksanaan PSU pertama tanggal 5 Mei.

Dalam pasal 90 PKPU 3 tahun 2017 menyebutkan, bahwa pasangan calon dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan jika terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ‘sebelum hari pemungutan suara’.

KPU berpendapat bahwa frasa ‘sebelum hari pemungutan suara’ yang dimaksud adalah pemungutan suara awal 9 Desember 2020. Sementara MK meminta KPU untuk memberikan tafsir ulang, bahwa frasa ‘sebelum hari pemungutan suara’ tidak membedakan hari pemungutan suara yang diperintahkan KPU maupun hari pemungutan suara yang diperintahkan MK. Karena sejatinya, setiap pemungutan suara yang diikuti peserta pemilihan, syarat calon tetap harus terpenuhi.

  1. Kesepahaman bersama antar penyelenggara

Dari persidangan PHP Boven Digoel, diketahui akar dari persoalannya adalah perbedaan pandangan antara KPU dan Bawaslu tingkat pusat tentang cara menghitung masa jeda lima tahun bagi calon yang merupakan mantan terpidana. Jika sedari awal pencalonan Yusak sebagai Calon Bupati diputuskan tidak memenuhi syarat, maka tidak harus terjadi PSU yang menghabiskan anggaran tambahan miliaran rupiah itu.

  1. Bukan cacat prosedur di KPU

Secara administrasi pencalonan dalam Pemilihan di Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore memenuhi semua yang dipersyaratkan termasuk fotocopi KTP yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia. Dokumen pencalonan dan syarat calon telah diumumkan untuk mendapat tanggapan masyarakat sampai tahapan selesai. Konyol jika menganggap KPU harus memastikan status kewarganegaraan asing ke semua Negara untuk semua calon, tanpa ada masukan/tanggapan dari publik.

Bahkan level jabatan menteri, pernah ‘kecolongan’ dijabat oleh warga Negara asing. Ingat kasus Arcandra Tahar saat masih berstatus warga Amerika Serikat dilantik menjadi Menteri ESDM.

  1. Alternatif penyelesaian Sabu Raijua

Sesuai UU Pemilihan, tahapan pemilihan sejatinya sudah berakhir sejak KPU daerah melakukan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih. Pelantikan kepala daerah, sejatinya bukan bagian tahapan penyelenggaraan pemilihan. Diskualifikasi pasangan calon semestinya diberikan jika masih dalam ruang tahapan pemilihan.

Dalam konteks Pemilihan di Sabu Raijua, KPU setempat sudah mengakhiri tahapan pemilihannya, sehingga segala persoalan terkait calon terpilih yang akan dilantik, semestinya diselesaikan bukan dalam lajur pemilihan, melainkan lajur peradilan umum.

Apalagi dalam Pasal 164 ayat 4, UU 10/2016 menyebutkan; Dalam hal calon Bupati terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Wakil Bupati terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati meskipun tidak secara berpasangan, serta pengaturan ayat selanjutnya. Lalu Pasal 173 ayat 1 berbunyi; Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Dalam proses pemberhentiannya, Orient dapat dikenakan pasal-pasal pidana umum akibat ketidakjujuran tentang status kewarganegaraannya pada saat proses pencalonan. Terlepas dari fakta persidangan, bahwa Orient pernah mengajukan pelepasan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya dan telah diambil sumpah serta disaksikan pejabat terkait.

Ini yang perlu pembuktian secara dalam dari pejabat Amerika Serikat, karena jangan sampai kesalahan administrasi dan prosedur dari pejabat Amerika Serikat merampas hak Orient yang sebenarnya sudah menjadi calon bupati terpilih dengan mengeluarkan surat ‘keramat’ pengakuan sebagai warga negaranya.

Peristiwa hukum ini menjadi yang pertama kali terjadi. Calon yang telah ditetapkan sebagai calon terpilih, digugat ke MK meskipun sudah melewati ketentuan batas waktu pengajuannya, sampai putusan pembatalan/diskualifikasi dan PSU. Bisa dibayangkan jika hal ini juga terjadi terhadap calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 nanti.

Dari perkara ini, semestinya menurut penulis, harus ada penegasan kapan waktu tahapan pemilihan selesai. Agar setelah tahapan berakhir, jika muncul permasalahan baru tidak lagi ditarik dalam ruang tahapan pemilihan untuk penyelesaiannya. Demikian kira-kura. (*)

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,630 kali