
Pilihan Desain Keserentakan Pemilu 2024
Pilihan Desain Keserentakan Pemilu 2024
---Kaharuddin/Anggota KPU Kabupaten Nunukan
Pelaksanaan pemilu dan pemilihan tahun 2024 dipastikan tetap menggunakan UU existing, yakni UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No 6 tahun 2020 (Pemilihan/Pilkada).
Tanpa perubahan desain waktu penyelenggaraan pemilu dan pemilihan 2024, maka tahapan akan berlangsung secara marathon dan menjadi sejarah baru lagi karena dilaksanakan pemungutan suara pemilu 5 jenis pemilihan secara serentak ditambah pemungutan suara Pilkada dalam tahun yang sama meskipun diwaktu berbeda. Pemilu direncanakan 21 Februari dan Pemilihan 27 November.
Selain UU existing, ada fakta hukum baru yakni putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang tidak boleh dikesampingkan dalam menentukan desain keserentakan pemilu 2024. Putusan MK memberikan sedikitnya enam model keserentakan pemilu yang konstitusional, namun untuk memilihnya merupakan kewenangan pembuat UU.
Pertama, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Kedua, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Ketiga, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Keempat, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Kelima, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota.
Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Dengan keputusan politik tidak melakukan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, maka pembuat UU sejatinya memilih opsi model pertama sebagaimana pelaksanaan pemilu 2019 lalu. Namun yang tidak boleh dilupakan catatan dalam putusan MK 55/2019 tersebut, bahwa pembuat UU dalam menentukan model keserentakan pemilu salah satunya harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas, serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Artinya, pemilu 2024 tetap pada penyaluran hak konstitusional warga untuk memilih 5 jenis pemilihan secara serentak, namun untuk memenuhi pertimbangan implikasi teknis sehingga beban kerja penyelenggara dalam batas kewajaran, maka menjadi tugas KPU yang mengatur tata kelola pemilu dengan melakukan inovasi, yakni penyederhanaan surat suara.
Sebenarnya, masih ada upaya hukum judicial review (JR) yang diajukan mantan penyelenggara adhoc Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi. Dalam petitumnya meminta pemisahan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari Pemilu DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden. Jika melihat putusan MK 55/2019, pemisahan pemilu DPRD Prov dan Kab/kota dari Pemilu Presiden, DPR dan DPD merupakan salah satu model keserentakan pemilu ditawarkan, namun untuk memilihnya bukan kewenangan MK dan kembali kepada pembuat UU.
Namun jika JR dikabulkan, maka landcape pemilu serentak 2024 akan berubah. Untuk memilih diantara model keempat dan kelima yang memisahkan pemilu DPRD Prov dan Kab/kota, tidak dapat dilakukan karena UU Pilkada tidak diubah, sehingga memilih alternative model lain seperti pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota digelar lebih awal pada bulan Januari, kemudian Pemilu Presiden, DPD dan DPR di bulan April, kemudian jadwal Pilkada tetap sesuai UU Pilkada yakni November. Karena jika Pemilu DPRD Prov/Kab/Kota digelar setelah Pilpres atau pertengahan tahun, maka tahapan tidak kompatibel dengan tahapan Pilkada, terutama pencalonan kepala daerah.
Dalam artikel ini, penulis hanya ingin menuangkan cerita-cerita diskusi teknis dari desain yang saat ini sedang dibangun, yakni pemilu serentak 5 jenis pemilihan dengan penyederhanaan surat suara. Menuangkan ‘khayalan’ dalam paragraf-paragraf opini, sembari menunggu gong tahapan dimulai. Apapun keputusannya, kami KPU di daerah dengar dan taat.
Penyederhanaan surat suara
Beban kerja yang dinilai tidak wajar kepada petugas KPPS dalam Pemilu 2019, memang menjadi bahan diskusi banyak pihak, karena melihat fakta empiris ratusan petugas KPPS kelelahan, sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Menghitung satu per satu 5 jenis pemilihan dengan membuka kotak, membuka surat suara, menghitung dan melipat kembali membutuhkan konsentrasi tinggi, apalagi jika ada keberatan atau kejadian khusus dari saksi atau pengawas yang semakin menguras energy.
Persoalan itu akan terjawab dengan upaya penyederhanaan surat suara menjadi satu untuk lima jenis pemilihan. Termasuk dalam tahapan pengadaan dan distribusi logistic akan sangat diringankan beban kerja dan anggarannya terutama untuk daerah-daerah dengan geografis jauh dan sulit. Seperti di wilayah lima kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat kecil.
Opsi dua surat suara, yakni satu surat suara Pemilu Presiden/wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan satu surat suara khusus untuk Pemilu DPD, maka menurut penulis akan besar kemungkinan terulang fenomena anomaly surat suara tidak sah DPD hasil pemilu 2019. Selain itu, dua surat suara juga akan lebih berat beban kerjanya dibandingkan satu surat suara.
Persoalan tulisan nama caleg akan terlihat lebih kecil jika digabung menjadi satu surat suara, tentu bisa dilakukan penambahan ukuran surat suara. Apalagi ukuran surat suara yang disosialisasikan dalam penyederhanaannya berukuran 42 x 59,4 cm. Sementara surat suara DPR/DPRD Pemilu 2019 kita menggunakan surat suara yang lebih besar hampir 2 kali lipat, yakni 51 x 82 cm. Bagaimana dengan bilik suara?, jika memang tidak kompatibel, bilik suara bisa saja diperbesar.
Dari bahasan diatas, penulis lebih sepakat dengan opsi penyederhanaan surat suara menjadi 1 surat suara dan isi desain/konten memuat ketentuan minimal sesuai UU 7/2017 serta metode pemiilihannya dengan mencoblos.
Menyamakan hak suara pemilih pindah
Upaya menggabungkan surat suara, akan berimbas teknis dalam hal pelayanan pemilih pindah yang melintasi daerah pemilihan tertentu. Pembedaan hak suara bagi pemilih pindah diterapkan pada Pemilu 2019 lalu, sehingga hak suaranya bisa tidak utuh 5 jenis pemilihan. Namun menyamakan hak suara pemilih pindah juga pernah diterapkan pada pemilu 2014. Itu lebih simple dan tidak menyulitkan pelayanan dan administrasi di TPS.
Persoalan potensi migrasi pemilih pindah secara massif ke daerah pemilihan tertentu, bisa dilakukan upaya pencegahan dengan penguatan syarat pindah pemilih, tidak boleh dengan alasan diluar ketentuan.
Beban administrasi dan aplikasi
Penyederhanaan surat suara belum sepenuhnya menjawab beban KPPS lainnya. Pasca penghitungan suara di TPS, pekerjaan administrasi juga menjadi beban yang besar saat pemilu 2019. Untuk salinan C.1 saja, jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan rangkap.
Rincinya: C1 pilpres sebanyak 7 rangkap masing-masing untuk 2 orang saksi, 1 pengawas, 1 diumumkan di TPS, 1 diumumkan di PPS, 1 yang berhologram masuk dalam kotak suara dan 1 rangkap untuk Situng KPU. C1 DPR sebanyak 21 rangkap, masing-masing untuk 16 orang saksi parpol, 1 pengawas, 1 diumumkan di TPS, 1 diumumkan di PPS, 1 yang berhologram masuk dalam kotak suara dan 1 rangkap untuk Situng KPU, C1 DPRD Provinsi sebanyak 21 rangkap dengan peruntukan yang sama, C1 DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 21 rangkap dengan peruntukan yang sama. C1 DPD menyesuaikan jumlah calon DPD, seperti di Sulawesi Tenggara dengan 46 calon DPD maka C1-nya sebanyak 51 rangkap. Jika ditotal, maka akan ada 121 rangkap C1 yang ditulis manual. Belum termasuk C1.Plano.
Menulis hingga 121 rangkap C1 inilah yang dapat memicu persoalan human eror, karena petugas KPPS sudah lelah dengan persiapan sebelum hari H, sibuk dengan pemungutan suara, focus dengan penghitungan suara, dan masih diberikan pekerjaan menulis salinan C.1 yang jumlahnya banyak.
Masalah ini bisa terjawab dengan penggunaan digitalisasi, aplikasi Sirekap. Namun penerapannya tetap membutuhkan dasar hukum yang kuat. Bagaimana jika tidak disetujui sebagaimana Sirekap Pilkada 2020? Tentu harus menulis secara manual lagi, dan mungkin solusinya menggunakan kertas NCR (No Carbon Required), sehingga setiap jenis pemilihan KPPS hanya menulis satu kali. Metode ini pernah digunakan dalam pemilu/pilkada sebelumnya, meski ada kelemahannya, namun mungkin lebih baik jika dibandingkan harus menulis manual sampai 121 rangkap C.1. Atau, seperti pada akhirnya diperbolehkan fotokopi C1 dengan ketentuan pengawasan yang ketat.
Keberadaan saksi di TPS
Potensi persoalan lain di TPS yang sering luput dalam bahasan diskusi adalah keberadaan saksi dari lima jenis pemilihan tersebut didalam lingkungan TPS. Dengan ukuran ideal TPS sesuai peraturan KPU adalah 8 x 10 meter, didalamnya memuat 7 petugas KPPS, 1 pengawas, dan pemilih secara bergantian serta saksi yang dalam kondisi normal jumlahnya sangat banyak.
Mari kita rinci: saksi Pilpres 2 orang (jika paslon hanya 2), saksi Parpol 16 orang (sesuai jumlah peserta parpol) ditambah masing-masing saksi DPD yang jumlahnya berbeda setiap provinsi. Sebagai contoh di Sulawesi Tenggara pada pemilu 2019 lalu ada 46 calon DPD. Kalau ditotal ada 72 kursi harus disiapkan dalam TPS termasuk untuk KPPS dan pengawas, belum termasuk kursi untuk pemilih. Angka ini memang jumlah maksimal, namun memungkinkan terjadi atau setidaknya separuh jumlah saksi.
Kondisi ini akan sangat tidak relevan dengan luasan TPS, apalagi jika pemilu 2024 masih dalam situasi pandemic. Pengaturan kehadiran saksi di TPS perlu dibuat alternatif, karena jika semua hadir, maka KPPS wajib memberikan pelayanan dalam TPS, minimal memberikan kursi dan salinan DPT.
Demikian, kita semua berharap penyelenggaraan pemilu dan pemilihan 2024 dapat terlaksana dengan baik. Meski tanpa revisi UU, KPU mampu menyelenggarakan pesta demokrasi ini secara konstitusional dan bermartabat. Amin..(*)