
Redesain Badan Adhoc Pemilu-Pemilihan 2024
Redesain Badan Adhoc Pemilu-Pemilihan 2024
Oleh Kaharuddin (Anggota/Divisi Teknis KPU Kabupaten Nunukan)
PERSIAPAN menghadapi Pemilu dan Pemilihan 2024 memang sudah semestinya dilakukan sejak dini. Penting dilakukan sejak awal, agar regulasi teknis Peraturan KPU (PKPU) bisa hadir tepat waktu untuk dipahami sehingga dapat dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara hingga tingkat badan adhoc.
Pengalaman Pemilu 2019 dan Pemilihan serentak 2020 tentu menjadi modal berharga bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemilihan tujuh surat suara sekaligus dalam satu tahun, 2024. Desain baru era pemilu/pemilihan zaman next.
KPU hingga jajaran KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota telah menginventarisir beragam masalah penyelenggaraan dari pelaksanaan pemilu dan pemilihan terakhir. Namun, dalam artikel ini penulis memfokuskan pada permasalahan pembentukan penyelenggara badan Adhoc PPS dan KPPS berdasarkan pengalaman di KPU Kabupaten Nunukan.
Permasalahan utama dalam rekrutmen badan Adhoc PPS dan KPPS di Kabupaten Nunukan, adalah keterbatasan sumberdaya manusia (SDM). Dan masalah ini akan terus terulang setiap pemilu/pemilihan jika tidak ada perubahan regulasi level Undang-undang (UU) baik pemilu maupun pemilihan.
Bukan mengada-ada. Masalah akan langsung terlihat jika melihat jumlah DPT per kelurahan/desa di Kabupaten Nunukan, dimana terdapat puluhan desa dari 240 kelurahan/desa yang jumlah pemilihnya sedikit, bahkan ada yang hanya memiliki 21 pemilih dalam satu desa di Desa Bungayan Kecamatan Krayan Timur. Itu jumlah pemilih, bagaimana merekrut SDM PPS dan KPPS dengan segala persyaratan normatifnya?.
Dari DPT Pemilihan 2020 se Kabupaten Nunukan, terdapat 33 desa yang jumlah pemilihnya tidak lebih dari 50 pemilih. Diantaranya Krayan Barat: Desa Pa Mulak 30 pemilih, Long Puak (46), Long Kabid (43), Pa Inan (45), Long Mangan (34). Krayan Selatan: Pa Dalan (44), Krayan Tengah: Pa Yalau (44), Tang Badui (49), Tang Paye (48). Krayan Timur: Bungayan (21), Long Nuat (46), Long Tenem (50), Long Umung (43), Pa Lidung (42), Sinar baru (40).
Lumbis: Semalat (50), Palemumut (38), Lumbis Hulu: Duyan (50), Kabungolor (39), Kalisun (35), Mamasin (40), Sibalu (43), Lumbis Ogong: Labuk (22), Limpakon (39), Linsayung (39), Payang (50), Sedalit (37), Sinampila II (44), Tambalang hilir (43), Tumantalas (41). Lumbis Pansiangan: Bokok (41), Kuyo (48) dan Lagas (43).
Dari usia, persyaratan menjadi pemilih minimal berusia 17 tahun atau sudah menikah, sedangkan persyaratan menjadi PPS dan KPPS lebih ‘berat’ karena minimal berusia 21 tahun. Belum lagi persyaratan pendidikan, integritas dan netralitas, kompetensi lain-lain, serta syarat belum pernah menjadi PPS atau KPPS dua (kali) periode yang tentu sangat memberatkan bahkan nyaris mustahil terpenuhi dengan jumlah SDM yang ada.
Apalagi penyelenggara pemilu ditingkat kelurahan/desa bukan hanya 3 anggota PPS dan 7 KPPS+2 petugas ketertiban. Ada secretariat PPS tiga orang, ada Panwaslu (PPL) kelurahan/desa 1 orang dan bukan tidak mungkin ada juga yang sudah menjadi tim sukses calon.
Persoalan keterbatasan SDM ini baru hitungan jumlah dan persyaratannya, belum lagi apakah yang bersangkutan mau mendaftar sebagai PPS/KPPS. Bisa jadi dibeberapa desa warganya lebih memilih menjadi saksi calon ketimbang KPPS, karena dari penghasilan hampir sama tetapi beban kerja dan tekanan jauh lebih ringan. Kasus seperti ini juga mungkin dialami KPU kabupaten lain di Kaltara dan daerah-daerah lain.
Dilihat dari aspek proporsional, penyelenggara PPS dan KPPS di desa dengan jumlah 21 pemilih tersebut sangat tidak proporsional dibandingkan dengan PPS dengan jumlah TPS yang banyak dan KPPS dengan jumlah ratusan pemilih. Beban kerja yang sangat jomplang perbedaannya, sementara dari sisi penghasilan, mereka sama dari Sabang sampai Merauke.
Dari permasalahan keterbatasan SDM tersebut, solusinya adalah revisi regulasi dari PKPU hingga UU Pemilu maupun Pemilihan. Bagaimana me-Redesain PPS dan KPPS khusus untuk wilayah tertentu dalam UU agar PKPU juga tidak menabrak aturan diatasnya dan desain yang baru dapat dilaksanakan diseluruh kelurahan/desa.
1. Regrouping Desa dalam PPS
Dalam UU Pemilu/Pemilihan, disebutkan bahwa PPS melaksanakan Pemilu ditingkat kelurahan/desa atau nama lain. Namun ketentuan ini sulit diterapkan didesa-desa yang disebutkan diatas. Maka redesain PPS yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menggabungkan beberapa desa yang jumlah pemilihnya sedikit (misal 50 pemilih) dalam satu wilayah kerja PPS.
Ketentuan dalam usulan revisi UU: bahwa ‘KPU Kabupaten/Kota dapat membentuk PPS yang terdiri dari gabungan beberapa kelurahan/desa.
Apalagi PPS adalah singkatan dari Panitia Pemungutan Suara, tidak menyebutkan kelurahan/desa. Berbeda dengan PPK yang merupakan singkatan dari Panitia Pemilihan Kecamatan sehingga akan rancu jika dilakukan penggabungan kecamatan dalam satu PPK.
Penggabungan desa dalam satu PPS ini dapat dilakukan dengan syarat tidak menggabungkan pemilih dalam satu TPS yang berbeda desa. Artinya dalam satu desa tetap memiliki minimal satu TPS, tapi bisa jadi PPSnya merupakan gabungan desa. Selain itu, penggabungan desa dalam satu PPS dilakukan dengan tidak menggabungkan desa yang berbeda daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.
Sebenarnya bisa saja UU Pemilu/pemilihan tidak direvisi, tapi syaratnya desa-desa yang jumlah penduduk/pemilihnya sedikit dilakukan regrouping desa secara administrasi pemerintahan. Tapi itu bukan wilayah kerja KPU dan mungkin relatif sulit dilakukan pemerintah.
2. Pengaturan jumlah personel KPPS
Dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, jumlah petugas KPPS (dalam negeri) disebutkan sebanyak 7 orang. Sedangkan KPPS Luar Negeri diberikan ruang pilihan, paling sedikit 3 orang. Mengapa UU hanya memberikan ruang pilihan jumlah kepada KPPS Luar Negeri, tapi KPPS dalam negeri tidak?.
Disini menurut penulis perlu juga dilakukan revisi dengan ketentuan: KPPS (dalam negeri) paling sedikit 3 orang dan paling banyak 7 orang, sehingga, TPS yang jumlah pemilihnya sedikit bisa menyesuaikan jumlah petugasnya.
Bisa dibayangkan, selama ini 7 petugas KPPS melayani 21 pemilih dibandingkan 7 KPPS melayani hingga 500 pemilih. Sangat tidak proporsional, sementara dari sisi penghasilan mereka sama. Demikian juga jumlah petugas ketertiban bisa diatur minimal 1 orang dan maksimal 2 orang setiap TPS.
Dari usulan redesain PPS dan KPPS ini, selain dapat diterapkan dan memenuhi aspek proporsionalitas, redesain ini juga menghemat anggaran pemerintah sebagai dampak pengurangan jumlah petugas badan adhoc.
Tanpa revisi UU dan PKPU untuk redesain badan adhoc, maka kami tetap akan menghadapi masalah yang sama setiap pemilu/pemilihan.
Demikian. Semoga opini ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan dalam usulan revisi UU Pemilu dan UU Pemilihan. Semoga..(*)