
Verifikasi Partisipatif dan Digitalisasi Dukungan Perseorangan
Oleh: Kaharuddin
Anggota KPU Kabupaten Nunukan
Dalam kandidasi pemilu dan pemilihan di Indonesia, kita mengenal ada dua calon yang berasal dari dukungan orang per orang atau perseorangan, tanpa melalui dukungan partai politik. Yakni calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rezim pemilu dan pasangan calon kepala daerah jalur perseorangan dalam rezim pemilihan. Calon perseorangan DPD termaktup dalam UUD Negara RI 1945, sedangkan calon perseorangan kepala daerah lahir dari putusan Mahkaman Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007.
Sentuhan teknologi informasi dalam proses pemenuhan syarat dukungan perseorangan sebenarnya sudah diterapkan. Dalam PKPU 14/2018, ada Sistem Informasi Perseorangan Peserta Pemilu anggota DPD, disingkat SIPPP. Sistem informasi ini untuk mendukung kerja calon DPD dan penyelenggara pemilu dalam penyerahan, penelitian administrasi dan verifikasi faktual dukungan.
Ada juga Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang lebih khusus untuk pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi syarat bakal calon. Namun dalam menghimpun dukungan masyarakat berupa pernyataan mendukung dan fotokopi KTP, dua sistem informasi ini belum memfasilitasi. Metode pengumpulan dukungan masih dilakukan secara manual.
Bakal calon bersama tim suksesnya mengumpulkan fotokopi KTP masyarakat yang mendukung, disertai pernyataan mendukung, kemudian diinput secara manual dalam aplikasi SIPPP. Demikian juga dengan calon perseorangan kepala daerah yang menggunakan Silon pemilihan. Tumpukan berkas dukungan persyaratan harus diterima penyelenggara KPU di daerah.
Dalam pengumpulan dukungan, ada persoalan yang kerap berulang yakni pencatutan nama sebagai pendukung dan baru diketahui saat dilakukan verifikasi faktual. Bukan hanya dukungan perseorangan, pencatutan juga sering ditemukan dalam status keanggotaan partai politik calon peserta pemilu.
Masalahnya, pencatutan nama ini bisa tidak terkonfirmasi kepada yang bersangkutan karena mekanisme verifikasi factual calon anggota DPD maupun anggota partai politik bisa dilakukan dengan metode sampling, selain sensus. Jika sampling, sampel diambil 10 persen dengan metode acak sederhana dan sisanya 90 persen tidak terkonfirmasi kebenarannya.
Nama yang bukan termasuk sampel, maka bisa ‘dianggap’ memenuhi syarat sebagai pendukung perseorangan atau anggota partai politik. Apalagi dengan adanya putusan MK tentang verifikasi partai politik ‘parlemen’ yang tidak dilakukan verifikasi faktual, hanya administrasi. Kemungkinan pencatutan nama semakin besar dan tak terkonfirmasi.
Sedikit lebih baik, dukungan pasangan calon kepala daerah jalur perseorangan diverifikasi faktual keseluruhan, tanpa pilihan metode sampling.
Verifikasi Partisipatif
Berangkat dari persoalan itu, penyelenggara KPU sebenarnya bisa mengagas metode verifikasi yang partisipatif. Publik secara luas bisa mengecek dirinya apakah terdaftar sebagai pendukung calon perseorangan atau apakah terdaftar sebagai anggota partai politik. Sama seperti bagaimana masyarakat dapat mengetahui apakah dirinya terdaftar sebagai pemilih atau belum melalui lindungihakpilihmu.kpu.go.id, WA ataupun pesan singkat SMS.
Mereka yang mengetahui namanya dicatut, dapat melaporkan kepada penyelenggara pemilu/pemilihan untuk dihapus. Mekanismenya bisa dihapus serta merta disertai pernyataan dari pihak yang bersangkutan atau melalui jalur Bawaslu di daerah dengan mengeluarkan rekomendasi atau putusan. Hal ini perlu diselaraskan dalam penyusunan peraturan teknis antara PKPU dan Perbawaslu, karena tugas-tugas menegakkan keadilan pemilu, bukan hanya dipundak Bawaslu, tapi juga KPU.
Tanpa verifikasi partisipatif, bisa saja seseorang yang terdaftar sebagai anggota partai politik tertentu atau tercatat sebagai pendukung calon perseorangan, namun tanpa diketahui yang bersangkutan.
Untuk mendukung mekanisme kerja verifikasi partisipatif tersebut, maka penggunaan teknologi informasi menjadi niscaya. Optimalisasi teknologi informasi akan diupayakan di semua tahapan pemilu/pemilihan, kecuali pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
SiDuper
Semangat digitalisasi jangan hanya dalam rangka mempermudah kerja-kerja penyelenggara, tapi penggunaan teknologi juga diwujudkan dalam rangka mempermudah peserta pemilu dalam kerja-kerja politiknya serta mempermudah masyarakat untuk keikutsertaan dalam ruang politik.
Sipol, atau sistem informasi partai politik yang digunakan untuk membantu pengelolaan administrasi pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik peserta pemilu, semestinya memberikan fitur layanan masyarakat untuk mengecek status keanggotaan. Jahat rasanya, jika seseorang ingin berkarier di lembaga yang netral dari politik, tapi harus terganjal karena namanya dicatut dan terdaftar dalam sipol.
Sementara penggunaan SIPPP dan Silon untuk calon perseorangan, selama ini hanya untuk kemudahan layanan administrasi antara KPU dengan bakal calon untuk pemenuhan persyaratan pencalonannya. Tidak ada ruang publik, termasuk jika ada masyarakat yang ingin memberikan dukungan secara mandiri melalui teknologi.
Sistem Informasi Dukungan Calon Perseorangan, disingkat Siduper. Masih dalam kerangka khayalan penulis, tapi setidaknya ada konsep semangat untuk memfasilitasi ruang publik dalam keikutsertaan memberikan dukungan atau membantah dukungan. Serta, memberikan kemudahan dalam proses kandidasi dan berbiaya murah.
Alur kerjanya, sebagai contoh bakal pasangan calon kepala daerah mendaftar di KPU provinsi atau kabupaten/kota, kemudian nama bakal pasangan calon tersebut ditampilkan didalam website KPU setempat, diumumkan dalam berbagai media untuk mendapat tanggapan publik secara luas.
Masyarakat yang ingin mendukung secara langsung, dibuatkan fitur layanan dukungan digital sehingga bisa memberikan dukungan dengan mengirimkan foto KTP dan surat pernyataan mendukung. Support from home!, warga bisa mengirim dukungan secara mandiri dan online dari rumah menggunakan aplikasi atau tanpa aplikasi atau bisa dikirim melalui tim sukses atau calon langsung.
Dukungan digital akan langsung tersusun rapi berdasarkan kelurahan/desa disertai fotokopi KTP. File dukungan terarsipkan dalam bentuk digital secara otomatis. Sampai batas waktu tertentu, jika dukungan terkumpul memenuhi syarat minimum, maka KPU daerah melakukan verifikasi faktual.
Dengan membuka partisipasi ruang publik ini, juga akan membuktikan jika memang bakal pasangan calon memiliki kredibilitas yang baik, kapasitas yang mumpuni untuk menjadi kepala daerah, dan punya elektabilitas yang tinggi, maka dukungan murni langsung dari masyarakat akan mengalir, tanpa biaya mahal dan kerja berat.
Selain itu, Siduper juga bisa memberikan fitur kroscek dukungan. Warga bisa mengecek secara online apakah dirinya terdaftar sebagai pendukung atau tidak. Hal ini juga sekaligus menghindari manipulasi dukungan dan mendukung keterbukaan informasi. Metode kroscek dukungan bisa dipermudah hingga layanan SMS atau WA yang terkoneksi dengan database aplikasi.
Mudah, murah dan partisipatif. Tidak ada lagi tumpukan dokumen dukungan yang harus diserahkan ke kantor KPU daerah, tidak ada lagi data yang tidak tersusun rapi, tercecer dan tidak dilengkapi fotokopi KTP atau masalah lainnya. Bagaimana dengan tandatangan pendukung?, hal yang akan mudah dijawab oleh pakar Teknologi Informasi (IT). Kalau bisnis lain sudah bisa difasilitasi teknologi, kenapa tidak dengan mendigitalisasikan dukungan masyarakat terhadap bakal calon perseorangan.
Penulis bukan ahli IT, namun punya keyakinan bahwa suatu saat dukungan perseorangan ini bisa didigitalisasi dan lebih partisipatif. Apapun nama sistem informasinya, cara-cara konvensional akan tergerus diera disrupsi teknologi. Demikian kira-kira. (*) Sumber (https://www.kpu.go.id)