Opini

Verifikasi Partisipatif dan Digitalisasi Dukungan Perseorangan

Oleh: Kaharuddin Anggota KPU Kabupaten Nunukan Dalam kandidasi pemilu dan pemilihan di Indonesia, kita mengenal ada dua calon yang berasal dari dukungan orang per orang atau perseorangan, tanpa melalui dukungan partai politik. Yakni calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rezim pemilu dan pasangan calon kepala daerah jalur perseorangan dalam rezim pemilihan. Calon perseorangan DPD termaktup dalam UUD Negara RI 1945, sedangkan calon perseorangan kepala daerah lahir dari putusan Mahkaman Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007. Sentuhan teknologi informasi dalam proses pemenuhan syarat dukungan perseorangan sebenarnya sudah diterapkan. Dalam PKPU 14/2018, ada Sistem Informasi Perseorangan Peserta Pemilu anggota DPD, disingkat SIPPP. Sistem informasi ini untuk mendukung kerja calon DPD dan penyelenggara pemilu dalam penyerahan, penelitian administrasi dan verifikasi faktual dukungan. Ada juga Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang lebih khusus untuk pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi syarat bakal calon. Namun dalam menghimpun dukungan masyarakat berupa pernyataan mendukung dan fotokopi KTP, dua sistem informasi ini belum memfasilitasi. Metode pengumpulan dukungan masih dilakukan secara manual. Bakal calon bersama tim suksesnya mengumpulkan fotokopi KTP masyarakat yang mendukung, disertai pernyataan mendukung, kemudian diinput secara manual dalam aplikasi SIPPP. Demikian juga dengan calon perseorangan kepala daerah yang menggunakan Silon pemilihan. Tumpukan berkas dukungan persyaratan harus diterima penyelenggara KPU di daerah. Dalam pengumpulan dukungan, ada persoalan yang kerap berulang yakni pencatutan nama sebagai pendukung dan baru diketahui saat dilakukan verifikasi faktual. Bukan hanya dukungan perseorangan, pencatutan juga sering ditemukan dalam status keanggotaan partai politik calon peserta pemilu. Masalahnya, pencatutan nama ini bisa tidak terkonfirmasi kepada yang bersangkutan karena mekanisme verifikasi factual calon anggota DPD maupun anggota partai politik bisa dilakukan dengan metode sampling, selain sensus. Jika sampling, sampel diambil 10 persen dengan metode acak sederhana dan sisanya 90 persen tidak terkonfirmasi kebenarannya. Nama yang bukan termasuk sampel, maka bisa ‘dianggap’ memenuhi syarat sebagai pendukung perseorangan atau anggota partai politik. Apalagi dengan adanya putusan MK tentang verifikasi partai politik ‘parlemen’ yang tidak dilakukan verifikasi faktual, hanya administrasi. Kemungkinan pencatutan nama semakin besar dan tak terkonfirmasi. Sedikit lebih baik, dukungan pasangan calon kepala daerah jalur perseorangan diverifikasi faktual keseluruhan, tanpa pilihan metode sampling. Verifikasi Partisipatif Berangkat dari persoalan itu, penyelenggara KPU sebenarnya bisa mengagas metode verifikasi yang partisipatif. Publik secara luas bisa mengecek dirinya apakah terdaftar sebagai pendukung calon perseorangan atau apakah terdaftar sebagai anggota partai politik. Sama seperti bagaimana masyarakat dapat mengetahui apakah dirinya terdaftar sebagai pemilih atau belum melalui lindungihakpilihmu.kpu.go.id, WA ataupun pesan singkat SMS. Mereka yang mengetahui namanya dicatut, dapat melaporkan kepada penyelenggara pemilu/pemilihan untuk dihapus. Mekanismenya bisa dihapus serta merta disertai pernyataan dari pihak yang bersangkutan atau melalui jalur Bawaslu di daerah dengan mengeluarkan rekomendasi atau putusan. Hal ini perlu diselaraskan dalam penyusunan peraturan teknis antara PKPU dan Perbawaslu, karena tugas-tugas menegakkan keadilan pemilu, bukan hanya dipundak Bawaslu, tapi juga KPU. Tanpa verifikasi partisipatif, bisa saja seseorang yang terdaftar sebagai anggota partai politik tertentu atau tercatat sebagai pendukung calon perseorangan, namun tanpa diketahui yang bersangkutan. Untuk mendukung mekanisme kerja verifikasi partisipatif tersebut, maka penggunaan teknologi informasi menjadi niscaya. Optimalisasi teknologi informasi akan diupayakan di semua tahapan pemilu/pemilihan, kecuali pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara. SiDuper Semangat digitalisasi jangan hanya dalam rangka mempermudah kerja-kerja penyelenggara, tapi penggunaan teknologi juga diwujudkan dalam rangka mempermudah peserta pemilu dalam kerja-kerja politiknya serta mempermudah masyarakat untuk keikutsertaan dalam ruang politik. Sipol, atau sistem informasi partai politik yang digunakan untuk membantu pengelolaan administrasi pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik peserta pemilu, semestinya memberikan fitur layanan masyarakat untuk mengecek status keanggotaan. Jahat rasanya, jika seseorang ingin berkarier di lembaga yang netral dari politik, tapi harus terganjal karena namanya dicatut dan terdaftar dalam sipol. Sementara penggunaan SIPPP dan Silon untuk calon perseorangan, selama ini hanya untuk kemudahan layanan administrasi antara KPU dengan bakal calon untuk pemenuhan persyaratan pencalonannya. Tidak ada ruang publik, termasuk jika ada masyarakat yang ingin memberikan dukungan secara mandiri melalui teknologi. Sistem Informasi Dukungan Calon Perseorangan, disingkat Siduper. Masih dalam kerangka khayalan penulis, tapi setidaknya ada konsep semangat untuk memfasilitasi ruang publik dalam keikutsertaan memberikan dukungan atau membantah dukungan. Serta, memberikan kemudahan dalam proses kandidasi dan berbiaya murah. Alur kerjanya, sebagai contoh bakal pasangan calon kepala daerah mendaftar di KPU provinsi atau kabupaten/kota, kemudian nama bakal pasangan calon tersebut ditampilkan didalam website KPU setempat, diumumkan dalam berbagai media untuk mendapat tanggapan publik secara luas. Masyarakat yang ingin mendukung secara langsung, dibuatkan fitur layanan dukungan digital sehingga bisa memberikan dukungan dengan mengirimkan foto KTP dan surat pernyataan mendukung. Support from home!, warga bisa mengirim dukungan secara mandiri dan online dari rumah menggunakan aplikasi atau tanpa aplikasi atau bisa dikirim melalui tim sukses atau calon langsung. Dukungan digital akan langsung tersusun rapi berdasarkan kelurahan/desa disertai fotokopi KTP. File dukungan terarsipkan dalam bentuk digital secara otomatis. Sampai batas waktu tertentu, jika dukungan terkumpul memenuhi syarat minimum, maka KPU daerah melakukan verifikasi faktual. Dengan membuka partisipasi ruang publik ini, juga akan membuktikan jika memang bakal pasangan calon memiliki kredibilitas yang baik, kapasitas yang mumpuni untuk menjadi kepala daerah, dan punya elektabilitas yang tinggi, maka dukungan murni langsung dari masyarakat akan mengalir, tanpa biaya mahal dan kerja berat. Selain itu, Siduper juga bisa memberikan fitur kroscek dukungan. Warga bisa mengecek secara online apakah dirinya terdaftar sebagai pendukung atau tidak. Hal ini juga sekaligus menghindari manipulasi dukungan dan mendukung keterbukaan informasi. Metode kroscek dukungan bisa dipermudah hingga layanan SMS atau WA yang terkoneksi dengan database aplikasi. Mudah, murah dan partisipatif. Tidak ada lagi tumpukan dokumen dukungan yang harus diserahkan ke kantor KPU daerah, tidak ada lagi data yang tidak tersusun rapi, tercecer dan tidak dilengkapi fotokopi KTP atau masalah lainnya. Bagaimana dengan tandatangan pendukung?, hal yang akan mudah dijawab oleh pakar Teknologi Informasi (IT). Kalau bisnis lain sudah bisa difasilitasi teknologi, kenapa tidak dengan mendigitalisasikan dukungan masyarakat terhadap bakal calon perseorangan. Penulis bukan ahli IT, namun punya keyakinan bahwa suatu saat dukungan perseorangan ini bisa didigitalisasi dan lebih partisipatif. Apapun nama sistem informasinya, cara-cara konvensional akan tergerus diera disrupsi teknologi. Demikian kira-kira. (*) Sumber (https://www.kpu.go.id)

Belajar dari Perkara Diskualifikasi Calon oleh ‘Palu’ MK

Belajar dari Perkara Diskualifikasi Calon oleh ‘Palu’ MK   Oleh Kaharuddin Anggota KPU Kabupaten Nunukan   DITENGAH persiapan penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, ternyata masih ada daerah yang menyelenggarakan Pemilihan tahun 2020 hingga September 2021 ini belum tuntas pelaksanaannya. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo, di Provinsi Papua masih harus melaksanakan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pemungutan suara ulang (PSU) yang kedua kalinya. Pemilihan di Yalimo ini salah satu yang disebut Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam forum webinar ‘Mencari Solusi Problem Pemilu dan Pilkada 2024 tanpa Revisi Undang Undang’ yang diselenggarakan KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 26 Agustus 2021 lalu. Sebagai narasumber, ia memberikan catatan kritis atas beberapa putusan MK tentang Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) pada tiga daerah, yakni Kabupaten Yalimo, Boven Digoel dan Sabu Raijua. Menarik untuk dibedah. Bukan bermaksud lain, penulis ingin mengambil pelajaran berharga dari tiga kabupaten ini agar tidak terjadi persoalan serupa yakni diskualifikasi pasangan calon (Paslon) oleh MK sehingga harus dilaksanakan PSU di seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Karena pemilihan itu mahal, baik dari aspek materi, keamanan dan kondusifitas suatu daerah. YALIMO Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo tahun 2020 diikuti dua paslon, yakni paslon nomor urut 1 Erdi Dabi-Jhon Wilil dan nomor urut 2 Lukius Peyon-Nahum Mabel. Pada pemungutan suara pertama, Erdi Dabi-Jhon Wilil mendapat perolehan suara terbanyak, kemudian hasilnya digugat Lukius Peyon-Nahum Mabel di MK. Dari hasil sidang PHP-nya, putusan MK Nomor 97/PHP.BUP-XIX/2021 memerintahkan PSU di 105 TPS karena dinilai terbukti terjadi pelanggaran dari perampasan kotak suara, sehingga MK tidak meyakini proses pemungutan suaranya berlangsung satu orang satu suara. Singkat cerita diselenggarakanlah PSU pertama pada tanggal 5 Mei 2021. PSU berjalan lancar. Hasilnya, paslon Erdi Dabi-Jhon Wilil tetap memperoleh suara terbanyak. Kemudian paslon Lukius Peyon-Nahum Mabel kembali menggugat dengan materi gugatan bahwa Erdi Dabi tidak memenuhi syarat calon karena merupakan menjadi mantan terpidana dengan ancaman paling lama 12 tahun yang belum melewati masa jeda 5 tahun. Saat berstatus calon Bupati, Erdi Dabi dijatuhi pidana penjara 4 bulan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura bertanggal 18 Februari 2021 karena peristiwa kecelakaan kendaraan dan menabrak seseorang hingga menghilangkan nyawa. Putusan pengadilan itu inkraht, bahkan Erdi Dabi sudah selesai menjalani masa pemidanaannya. Yang menarik, putusan pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap ini terjadi sebelum putusan MK tanggal 19 Maret yang memerintahkan PSU di 105 TPS di dua distrik. Bahkan PSU pertama tanggal 5 Mei berlangsung disaat ada fakta hukum baru yang terkait keterpenuhan syarat Erdi Dabi sebagai calon. Dari hasil sidang PHP gugatan kedua, putusan MK Nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 mendiskualifikasi Erdi Dabi-Jhon Wilil dan memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan PSU di seluruh TPS. Yalimo langsung bergejolak. Pembakaran kantor KPU Yalimo, kantor Bawaslu, kantor Gakkumdu, gedung DPRD, kantor Dinas Kesehatan, kantor BPMK, kantor Perhubungan, dan Bank Papua. Hingga artikel ini ditulis, belum ada kabar lanjutan pelaksanaan PSU keduanya itu. BOVEN DIGOEL Masih di tanah Papua, kontestasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel tahun 2020 juga melalui proses diskualifikasi pasangan calon oleh majelis hakim MK. Sama seperti Yalimo, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dari hasil pemungutan suara awal, dibatalkan dan dicoret dari peserta pemilihan. Pemilihan di Boven Digoel awalnya diikuti empat paslon, yakni nomor urut 1 Hengky Yaluwo-Lexi Romel Wagiu, nomor urut 2 Chaerul Anwar-Nathalis B Kaket, nomor urut 3 Marthinus Wagi-Isak Bangri dan nomor urut 4 Yusak-Yakob. Pasangan Yusak-Yakob mendapat perolehan suara terbanyak hasil pemungutan suara Desember 2020. Hasilnya digugat di MK, tapi bukan terkait hasil perolehan suara, melainkan salah satu syarat calon Yusak tidak memenuhi persyaratan. Pencalonan Yusak sejak awal mengalami tarik-ulur. Mulanya diputuskan memenuhi syarat oleh KPU Boven Digoel, lalu dibatalkan oleh KPU RI, kemudian di-memenuhi syarat-kan lagi dengan putusan Bawaslu Boven Digoel dan akhirnya palu MK mendiskualifikasi paslon Yusak-Yakob. Yusak terbukti tidak memenuhi syarat calon, karena merupakan mantan terpidana korupsi yang belum melewati masa jeda 5 tahun sejak masa pemidanaannya berakhir. Dalam menghitung masa jeda lima tahun ini, KPU dan Bawaslu berbeda pendapat tentang titik dimulai penghitungannya. KPU menghitung jeda lima tahun sejak mantan terpidana selesai menjalani masa pemidanaannya atau bebas murni (bukan pembebasan bersyarat), sementara Bawaslu menghitungnya sejak terpidana keluar dari pidana kurungan penjara, termasuk sejak keluar dari penjara karena pembebasan bersyarat. Disinilah akar persoalannya. Jika jeda lima tahun dihitung sejak Yusak mendapatkan pembebasan bersyarat, maka Yusak sudah melewati jeda lima tahun dan memenuhi syarat sebagai calon Bupati. Namun jika dihitung sejak Yusak selesai menjalani proses pemidanaannya atau bebas murni (bebas bersyarat belum dihitung), maka Yusak belum melewati masa jeda 5 tahun tersebut. Akhirnya, majelis hakim MK berpandangan sama dengan KPU bahwa jeda lima tahun dihitung sejak Yusak tidak lagi berstatus terpidana atau selesai menjalani pemidanaannya, bukan sejak pembebasan bersyarat. Kasus serupa sebenarnya juga terjadi dibeberapa daerah, yakni Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu, Kabupaten Dompu dan Lampung Selatan. Calon yang tidak memenuhi syarat karena belum melewati masa jeda lima tahun harus ditetapkan sebagai pasangan calon berdasarkan putusan Bawaslu setempat. Ini terungkap dalam fakta persidangan PHP. PSU Boven Digoel dilaksanakan tanggal 7 Juli 2021 di seluruh TPS. Hasilnya paslon Hengky Yaluwo-Lexi Romel mendapat perolehan suara terbanyak. Hasil ini digugat lagi, namun dalam putusan MK yang dibacakan tanggal 31 Agustus lalu, menguatkan keputusan KPU Boven Digoel dan memerintahkan untuk menetapkan calon terpilih. SABU RAIJUA Berbeda dengan Yalimo dan Boven Digoel, persoalan diskualifikasi pasangan calon di Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur tahun 2020 ini dikarenakan status kewarganegaraan asing oleh salah satu calon. Pasangan calon peraih suara terbanyak, bahkan sudah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU Sabu Raijua dianulir MK dengan mendiskualifikasinya serta memerintahkan pemungutan suara ulang. Semula, pemilihan di Sabu Raijua dikuti tiga pasangan calon. Yakni nomor urut 1, Nikodemus N-Yohanis Uly, nomor urut 2 Orient P Riwu Kore-Thobias Uly dan nomor urut 3 Takem Irianto-Herman Hegi. Hasil pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020, Orient P Riwu Kore-Thobias Uly mendapat perolehan suara terbanyak. Proses tahapan setelah pemungutan suara berjalan lancar hingga penetapan pasangan calon terpilih dilakukan. Namun public heboh setelah surat jawaban dari kedutaan besar Amerika Serikat kepada Bawaslu, yang membenarkan status Orient P Riwu Kore sebagai warga Negara Amerika Serikat. MK menerima gugatan meskipun sudah diluar masa tenggang pengajuannya. Pada akhirnya, putusan MK mendiskualifikasi pasangan calon Orient P Riwu Kore-Thobias Uly karena Orient dianggap tidak memenuhi syarat fundamental dalam keikutsertaan di pemilihan disebabkan berstatus warga negara asing. MK juga memerintahkan kepada KPU Sabu Raijua untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS. Akhirnya, PSU terlaksana pada tanggal 7 Juli 2021.   CATATAN KRITIS Serupa tak sama Dari tiga putusan diskualifikasi pasangan calon ini, hanya putusan PHP Yalimo yang tetap memberikan kesempatan kepada calon wakil bupati yang terdiskualifikasi sebagai pasangan calon untuk tetap bisa berkontestasi. Sementara PHP Boven Digoel dan Sabu Raijua mendiskualifikasi pasangan calon tanpa ada memberikan kesempatan kepada calon wakilnya untuk kembali ikut sebagai peserta pemilihan. Inilah yang menjadi catatan kritis yang disampaikan, karena menilai MK memutuskan berbeda untuk kasus yang serupa. Salahkah MK dalam pertimbangan dan putusannya?, menurut penulis, MK tidak salah. Pemilihan di Yalimo, jumlah peserta pemilihan hanya dua pasangan calon, sehingga dengan terdiskualifikasinya satu pasangan calon, maka hanya menyisakan satu pasangan calon. Sementara pemilihan di Boven Digoel diikuti empat pasangan calon yang menjadi tiga pasangan calon karena satu didiskualifikasi, serta pemilihan di Sabu Raijua diikuti tiga pasangan calon, sehingga dengan diskualifikasi 1 pasangan calon, masih menyisakan dua pasangan calon. Ingat dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, bahwa pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, baru dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan calon. Dalam pertimbangan itulah, MK memerintahkan kepada KPU Yalimo untuk kembali membuka pendaftaran pasangan calon, sehingga calon wakil Bupati Yalimo Jhon Wilil masih diberikan kesempatan untuk mendaftar kembali sebagai calon wakil bupati atau sebagai calon bupati, sepanjang memenuhi  persyaratan. Namun jika sampai batas waktu pendaftaran tidak ada yang mendaftar, maka pemilihan di Yalimo dilanjutkan dengan satu pasangan calon. Tafsir ulang ‘sebelum hari pemungutan suara’ Dari PHP Yalimo, catatan penting bahwa fakta hukum baru tentang Erdi Dabi sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, sudah ada sebelum putusan MK atas PHP pertama tanggal 19 Maret, bahkan jauh sebelum pelaksanaan PSU pertama tanggal 5 Mei. Dalam pasal 90 PKPU 3 tahun 2017 menyebutkan, bahwa pasangan calon dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan jika terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ‘sebelum hari pemungutan suara’. KPU berpendapat bahwa frasa ‘sebelum hari pemungutan suara’ yang dimaksud adalah pemungutan suara awal 9 Desember 2020. Sementara MK meminta KPU untuk memberikan tafsir ulang, bahwa frasa ‘sebelum hari pemungutan suara’ tidak membedakan hari pemungutan suara yang diperintahkan KPU maupun hari pemungutan suara yang diperintahkan MK. Karena sejatinya, setiap pemungutan suara yang diikuti peserta pemilihan, syarat calon tetap harus terpenuhi. Kesepahaman bersama antar penyelenggara Dari persidangan PHP Boven Digoel, diketahui akar dari persoalannya adalah perbedaan pandangan antara KPU dan Bawaslu tingkat pusat tentang cara menghitung masa jeda lima tahun bagi calon yang merupakan mantan terpidana. Jika sedari awal pencalonan Yusak sebagai Calon Bupati diputuskan tidak memenuhi syarat, maka tidak harus terjadi PSU yang menghabiskan anggaran tambahan miliaran rupiah itu. Bukan cacat prosedur di KPU Secara administrasi pencalonan dalam Pemilihan di Sabu Raijua, Orient P Riwu Kore memenuhi semua yang dipersyaratkan termasuk fotocopi KTP yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia. Dokumen pencalonan dan syarat calon telah diumumkan untuk mendapat tanggapan masyarakat sampai tahapan selesai. Konyol jika menganggap KPU harus memastikan status kewarganegaraan asing ke semua Negara untuk semua calon, tanpa ada masukan/tanggapan dari publik. Bahkan level jabatan menteri, pernah ‘kecolongan’ dijabat oleh warga Negara asing. Ingat kasus Arcandra Tahar saat masih berstatus warga Amerika Serikat dilantik menjadi Menteri ESDM. Alternatif penyelesaian Sabu Raijua Sesuai UU Pemilihan, tahapan pemilihan sejatinya sudah berakhir sejak KPU daerah melakukan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih. Pelantikan kepala daerah, sejatinya bukan bagian tahapan penyelenggaraan pemilihan. Diskualifikasi pasangan calon semestinya diberikan jika masih dalam ruang tahapan pemilihan. Dalam konteks Pemilihan di Sabu Raijua, KPU setempat sudah mengakhiri tahapan pemilihannya, sehingga segala persoalan terkait calon terpilih yang akan dilantik, semestinya diselesaikan bukan dalam lajur pemilihan, melainkan lajur peradilan umum. Apalagi dalam Pasal 164 ayat 4, UU 10/2016 menyebutkan; Dalam hal calon Bupati terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Wakil Bupati terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati meskipun tidak secara berpasangan, serta pengaturan ayat selanjutnya. Lalu Pasal 173 ayat 1 berbunyi; Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam proses pemberhentiannya, Orient dapat dikenakan pasal-pasal pidana umum akibat ketidakjujuran tentang status kewarganegaraannya pada saat proses pencalonan. Terlepas dari fakta persidangan, bahwa Orient pernah mengajukan pelepasan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya dan telah diambil sumpah serta disaksikan pejabat terkait. Ini yang perlu pembuktian secara dalam dari pejabat Amerika Serikat, karena jangan sampai kesalahan administrasi dan prosedur dari pejabat Amerika Serikat merampas hak Orient yang sebenarnya sudah menjadi calon bupati terpilih dengan mengeluarkan surat ‘keramat’ pengakuan sebagai warga negaranya. Peristiwa hukum ini menjadi yang pertama kali terjadi. Calon yang telah ditetapkan sebagai calon terpilih, digugat ke MK meskipun sudah melewati ketentuan batas waktu pengajuannya, sampai putusan pembatalan/diskualifikasi dan PSU. Bisa dibayangkan jika hal ini juga terjadi terhadap calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 nanti. Dari perkara ini, semestinya menurut penulis, harus ada penegasan kapan waktu tahapan pemilihan selesai. Agar setelah tahapan berakhir, jika muncul permasalahan baru tidak lagi ditarik dalam ruang tahapan pemilihan untuk penyelesaiannya. Demikian kira-kura. (*)  

Pilihan Desain Keserentakan Pemilu 2024

Pilihan Desain Keserentakan Pemilu 2024   ---Kaharuddin/Anggota KPU Kabupaten Nunukan   Pelaksanaan pemilu dan pemilihan tahun 2024 dipastikan tetap menggunakan UU existing, yakni UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No 6 tahun 2020 (Pemilihan/Pilkada). Tanpa perubahan desain waktu penyelenggaraan pemilu dan pemilihan 2024, maka tahapan akan berlangsung secara marathon dan menjadi sejarah baru lagi karena dilaksanakan pemungutan suara pemilu 5 jenis pemilihan secara serentak ditambah pemungutan suara Pilkada dalam tahun yang sama meskipun diwaktu berbeda. Pemilu direncanakan 21 Februari dan Pemilihan 27 November. Selain UU existing, ada fakta hukum baru yakni putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang tidak boleh dikesampingkan dalam menentukan desain keserentakan pemilu 2024. Putusan MK memberikan sedikitnya enam model keserentakan pemilu yang konstitusional, namun untuk memilihnya merupakan kewenangan pembuat UU. Pertama, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Kedua, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Ketiga, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Keempat, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota. Kelima, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Dengan keputusan politik tidak melakukan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, maka pembuat UU sejatinya memilih opsi model pertama sebagaimana pelaksanaan pemilu 2019 lalu. Namun yang tidak boleh dilupakan catatan dalam putusan MK 55/2019 tersebut, bahwa pembuat UU dalam menentukan model keserentakan pemilu salah satunya harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas, serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Artinya, pemilu 2024 tetap pada penyaluran hak konstitusional warga untuk memilih 5 jenis pemilihan secara serentak, namun untuk memenuhi pertimbangan implikasi teknis sehingga beban kerja penyelenggara dalam batas kewajaran, maka menjadi tugas KPU yang mengatur tata kelola pemilu dengan melakukan inovasi, yakni penyederhanaan surat suara. Sebenarnya, masih ada upaya hukum judicial review (JR) yang diajukan mantan penyelenggara adhoc Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi. Dalam petitumnya meminta pemisahan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari Pemilu DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden. Jika melihat putusan MK 55/2019, pemisahan pemilu DPRD Prov dan Kab/kota dari Pemilu Presiden, DPR dan DPD merupakan salah satu model keserentakan pemilu ditawarkan, namun untuk memilihnya bukan kewenangan MK dan kembali kepada pembuat UU. Namun jika JR dikabulkan, maka landcape pemilu serentak 2024 akan berubah. Untuk memilih diantara model keempat dan kelima yang memisahkan pemilu DPRD Prov dan Kab/kota, tidak dapat dilakukan karena UU Pilkada tidak diubah, sehingga memilih alternative model lain seperti pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota digelar lebih awal pada bulan Januari, kemudian Pemilu Presiden, DPD dan DPR di bulan April, kemudian jadwal Pilkada tetap sesuai UU Pilkada yakni November. Karena jika Pemilu DPRD Prov/Kab/Kota digelar setelah Pilpres atau pertengahan tahun, maka tahapan tidak kompatibel dengan tahapan Pilkada, terutama pencalonan kepala daerah. Dalam artikel ini, penulis hanya ingin menuangkan cerita-cerita diskusi teknis dari desain yang saat ini sedang dibangun, yakni pemilu serentak 5 jenis pemilihan dengan penyederhanaan surat suara. Menuangkan ‘khayalan’ dalam paragraf-paragraf opini, sembari menunggu gong tahapan dimulai. Apapun keputusannya, kami KPU di daerah dengar dan taat. Penyederhanaan surat suara Beban kerja yang dinilai tidak wajar kepada petugas KPPS dalam Pemilu 2019, memang menjadi bahan diskusi banyak pihak, karena melihat fakta empiris ratusan petugas KPPS kelelahan, sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Menghitung satu per satu 5 jenis pemilihan dengan membuka kotak, membuka surat suara, menghitung dan melipat kembali membutuhkan konsentrasi tinggi, apalagi jika ada keberatan atau kejadian khusus dari saksi atau pengawas yang semakin menguras energy. Persoalan itu akan terjawab dengan upaya penyederhanaan surat suara menjadi satu untuk lima jenis pemilihan. Termasuk dalam tahapan pengadaan dan distribusi logistic akan sangat diringankan beban kerja dan anggarannya terutama untuk daerah-daerah dengan geografis jauh dan sulit. Seperti di wilayah lima kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat kecil. Opsi dua surat suara, yakni satu surat suara Pemilu Presiden/wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan satu surat suara khusus untuk Pemilu DPD, maka menurut penulis akan besar kemungkinan terulang fenomena anomaly surat suara tidak sah DPD hasil pemilu 2019. Selain itu, dua surat suara juga akan lebih berat beban kerjanya dibandingkan satu surat suara. Persoalan tulisan nama caleg akan terlihat lebih kecil jika digabung menjadi satu surat suara, tentu bisa dilakukan penambahan ukuran surat suara. Apalagi ukuran surat suara yang disosialisasikan dalam penyederhanaannya berukuran 42 x 59,4 cm. Sementara surat suara DPR/DPRD Pemilu 2019 kita menggunakan surat suara yang lebih besar hampir 2 kali lipat, yakni 51 x 82 cm. Bagaimana dengan bilik suara?, jika memang tidak kompatibel, bilik suara bisa saja diperbesar. Dari bahasan diatas, penulis lebih sepakat dengan opsi penyederhanaan surat suara menjadi 1 surat suara dan isi desain/konten memuat ketentuan minimal sesuai UU 7/2017 serta metode pemiilihannya dengan mencoblos. Menyamakan hak suara pemilih pindah Upaya menggabungkan surat suara, akan berimbas teknis dalam hal pelayanan pemilih pindah yang melintasi daerah pemilihan tertentu. Pembedaan hak suara bagi pemilih pindah diterapkan pada Pemilu 2019 lalu, sehingga hak suaranya bisa tidak utuh 5 jenis pemilihan. Namun menyamakan hak suara pemilih pindah juga pernah diterapkan pada pemilu 2014. Itu lebih simple dan tidak menyulitkan pelayanan dan administrasi di TPS. Persoalan potensi migrasi pemilih pindah secara massif ke daerah pemilihan tertentu, bisa dilakukan upaya pencegahan dengan penguatan syarat pindah pemilih, tidak boleh dengan alasan diluar ketentuan. Beban administrasi dan aplikasi Penyederhanaan surat suara belum sepenuhnya menjawab beban KPPS lainnya. Pasca penghitungan suara di TPS, pekerjaan administrasi juga menjadi beban yang besar saat pemilu 2019. Untuk salinan C.1 saja, jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan rangkap. Rincinya: C1 pilpres sebanyak 7 rangkap masing-masing untuk 2 orang saksi, 1 pengawas, 1 diumumkan di TPS, 1 diumumkan di PPS, 1 yang berhologram masuk dalam kotak suara dan 1 rangkap untuk Situng KPU. C1 DPR sebanyak 21 rangkap, masing-masing untuk 16 orang saksi parpol, 1 pengawas, 1 diumumkan di TPS, 1 diumumkan di PPS, 1 yang berhologram masuk dalam kotak suara dan 1 rangkap untuk Situng KPU, C1 DPRD Provinsi sebanyak 21 rangkap dengan peruntukan yang sama, C1 DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 21 rangkap dengan peruntukan yang sama. C1 DPD menyesuaikan jumlah calon DPD, seperti di Sulawesi Tenggara dengan 46 calon DPD maka C1-nya sebanyak 51 rangkap. Jika ditotal, maka akan ada 121 rangkap C1 yang ditulis manual. Belum termasuk C1.Plano. Menulis hingga 121 rangkap C1 inilah yang dapat memicu persoalan human eror, karena petugas KPPS sudah lelah dengan persiapan sebelum hari H, sibuk dengan pemungutan suara, focus dengan penghitungan suara, dan masih diberikan pekerjaan menulis salinan C.1 yang jumlahnya banyak. Masalah ini bisa terjawab dengan penggunaan digitalisasi, aplikasi Sirekap. Namun penerapannya tetap membutuhkan dasar hukum yang kuat. Bagaimana jika tidak disetujui sebagaimana Sirekap Pilkada 2020? Tentu harus menulis secara manual lagi, dan mungkin solusinya menggunakan kertas NCR (No Carbon Required), sehingga setiap jenis pemilihan KPPS hanya menulis satu kali. Metode ini pernah digunakan dalam pemilu/pilkada sebelumnya, meski ada kelemahannya, namun mungkin lebih baik jika dibandingkan harus menulis manual sampai 121 rangkap C.1. Atau, seperti pada akhirnya diperbolehkan fotokopi C1 dengan ketentuan pengawasan yang ketat. Keberadaan saksi di TPS Potensi persoalan lain di TPS yang sering luput dalam bahasan diskusi adalah keberadaan saksi dari lima jenis pemilihan tersebut didalam lingkungan TPS. Dengan ukuran ideal TPS sesuai peraturan KPU adalah 8 x 10 meter, didalamnya memuat 7 petugas KPPS, 1 pengawas, dan pemilih secara bergantian serta saksi yang dalam kondisi normal jumlahnya sangat banyak. Mari kita rinci: saksi Pilpres 2 orang (jika paslon hanya 2), saksi Parpol 16 orang (sesuai jumlah peserta parpol) ditambah masing-masing saksi DPD yang jumlahnya berbeda setiap provinsi. Sebagai contoh di Sulawesi Tenggara pada pemilu 2019 lalu ada 46 calon DPD. Kalau ditotal ada 72 kursi harus disiapkan dalam TPS termasuk untuk KPPS dan pengawas, belum termasuk kursi untuk pemilih. Angka ini memang jumlah maksimal, namun memungkinkan terjadi atau setidaknya separuh jumlah saksi. Kondisi ini akan sangat tidak relevan dengan luasan TPS, apalagi jika pemilu 2024 masih dalam situasi pandemic. Pengaturan kehadiran saksi di TPS perlu dibuat alternatif, karena jika semua hadir, maka KPPS wajib memberikan pelayanan dalam TPS, minimal memberikan kursi dan salinan DPT. Demikian, kita semua berharap penyelenggaraan pemilu dan pemilihan 2024 dapat terlaksana dengan baik. Meski tanpa revisi UU, KPU mampu menyelenggarakan pesta demokrasi ini secara konstitusional dan bermartabat. Amin..(*)

Redesain Badan Adhoc Pemilu-Pemilihan 2024

Redesain Badan Adhoc Pemilu-Pemilihan 2024   Oleh Kaharuddin (Anggota/Divisi Teknis KPU Kabupaten Nunukan)   PERSIAPAN menghadapi Pemilu dan Pemilihan 2024 memang sudah semestinya dilakukan sejak dini. Penting dilakukan sejak awal, agar regulasi teknis Peraturan KPU (PKPU) bisa hadir tepat waktu untuk dipahami sehingga dapat dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara hingga tingkat badan adhoc. Pengalaman Pemilu 2019 dan Pemilihan serentak 2020 tentu menjadi modal berharga bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemilihan tujuh surat suara sekaligus dalam satu tahun, 2024. Desain baru era pemilu/pemilihan zaman next. KPU hingga jajaran KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota telah menginventarisir beragam masalah penyelenggaraan dari pelaksanaan pemilu dan pemilihan terakhir. Namun, dalam artikel ini penulis memfokuskan pada permasalahan pembentukan penyelenggara badan Adhoc PPS dan KPPS berdasarkan pengalaman di KPU Kabupaten Nunukan. Permasalahan utama dalam rekrutmen badan Adhoc PPS dan KPPS di Kabupaten Nunukan, adalah keterbatasan sumberdaya manusia (SDM). Dan masalah ini akan terus terulang setiap pemilu/pemilihan jika tidak ada perubahan regulasi level Undang-undang (UU) baik pemilu maupun pemilihan. Bukan mengada-ada. Masalah akan langsung terlihat jika melihat jumlah DPT per kelurahan/desa di Kabupaten Nunukan, dimana terdapat puluhan desa dari 240 kelurahan/desa yang jumlah pemilihnya sedikit, bahkan ada yang hanya memiliki 21 pemilih dalam satu desa di Desa Bungayan Kecamatan Krayan Timur. Itu jumlah pemilih, bagaimana merekrut SDM PPS dan KPPS dengan segala persyaratan normatifnya?. Dari DPT Pemilihan 2020 se Kabupaten Nunukan, terdapat 33 desa yang jumlah pemilihnya tidak lebih dari 50 pemilih. Diantaranya Krayan Barat: Desa Pa Mulak 30 pemilih, Long Puak (46), Long Kabid (43), Pa Inan (45), Long Mangan (34). Krayan Selatan: Pa Dalan (44), Krayan Tengah: Pa Yalau (44), Tang Badui (49), Tang Paye (48). Krayan Timur: Bungayan (21), Long Nuat (46), Long Tenem (50), Long Umung (43), Pa Lidung (42), Sinar baru (40). Lumbis: Semalat (50), Palemumut (38), Lumbis Hulu: Duyan (50), Kabungolor (39), Kalisun (35), Mamasin (40), Sibalu (43), Lumbis Ogong: Labuk (22), Limpakon (39), Linsayung (39), Payang (50), Sedalit (37), Sinampila II (44), Tambalang hilir (43), Tumantalas (41). Lumbis Pansiangan: Bokok (41), Kuyo (48) dan Lagas (43). Dari usia, persyaratan menjadi pemilih minimal berusia 17 tahun atau sudah menikah, sedangkan persyaratan menjadi PPS dan KPPS lebih ‘berat’ karena minimal berusia 21 tahun. Belum lagi persyaratan pendidikan, integritas dan netralitas, kompetensi lain-lain, serta syarat belum pernah menjadi PPS atau KPPS dua (kali) periode yang tentu sangat memberatkan bahkan nyaris mustahil terpenuhi dengan jumlah SDM yang ada. Apalagi penyelenggara pemilu ditingkat kelurahan/desa bukan hanya 3 anggota PPS dan 7 KPPS+2 petugas ketertiban. Ada secretariat PPS tiga orang, ada Panwaslu (PPL) kelurahan/desa 1 orang dan bukan tidak mungkin ada juga yang sudah menjadi tim sukses calon. Persoalan keterbatasan SDM ini baru hitungan jumlah dan persyaratannya, belum lagi apakah yang bersangkutan mau mendaftar sebagai PPS/KPPS. Bisa jadi dibeberapa desa warganya lebih memilih menjadi saksi calon ketimbang KPPS, karena dari penghasilan hampir sama tetapi beban kerja dan tekanan jauh lebih ringan. Kasus seperti ini juga mungkin dialami KPU kabupaten lain di Kaltara dan daerah-daerah lain. Dilihat dari aspek proporsional, penyelenggara PPS dan KPPS di desa dengan jumlah 21 pemilih tersebut sangat tidak proporsional dibandingkan dengan PPS dengan jumlah TPS yang banyak dan KPPS dengan jumlah ratusan pemilih. Beban kerja yang sangat jomplang perbedaannya, sementara dari sisi penghasilan, mereka sama dari Sabang sampai Merauke. Dari permasalahan keterbatasan SDM tersebut, solusinya adalah revisi regulasi dari PKPU hingga UU Pemilu maupun Pemilihan. Bagaimana me-Redesain PPS dan KPPS khusus untuk wilayah tertentu dalam UU agar PKPU juga tidak menabrak aturan diatasnya dan desain yang baru dapat dilaksanakan diseluruh kelurahan/desa. 1. Regrouping Desa dalam PPS Dalam UU Pemilu/Pemilihan, disebutkan bahwa PPS melaksanakan Pemilu ditingkat kelurahan/desa atau nama lain. Namun ketentuan ini sulit diterapkan didesa-desa yang disebutkan diatas. Maka redesain PPS yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menggabungkan beberapa desa yang jumlah pemilihnya sedikit (misal 50 pemilih) dalam satu wilayah kerja PPS. Ketentuan dalam usulan revisi UU: bahwa ‘KPU Kabupaten/Kota dapat membentuk PPS yang terdiri dari gabungan beberapa kelurahan/desa. Apalagi PPS adalah singkatan dari Panitia Pemungutan Suara, tidak menyebutkan kelurahan/desa. Berbeda dengan PPK yang merupakan singkatan dari Panitia Pemilihan Kecamatan sehingga akan rancu jika dilakukan penggabungan kecamatan dalam satu PPK. Penggabungan desa dalam satu PPS ini dapat dilakukan dengan syarat tidak menggabungkan pemilih dalam satu TPS yang berbeda desa. Artinya dalam satu desa tetap memiliki minimal satu TPS, tapi bisa jadi PPSnya merupakan gabungan desa. Selain itu, penggabungan desa dalam satu PPS dilakukan dengan tidak menggabungkan desa yang berbeda daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. Sebenarnya bisa saja UU Pemilu/pemilihan tidak direvisi, tapi syaratnya desa-desa yang jumlah penduduk/pemilihnya sedikit dilakukan regrouping desa secara administrasi pemerintahan. Tapi itu bukan wilayah kerja KPU dan mungkin relatif sulit dilakukan pemerintah. 2. Pengaturan jumlah personel KPPS Dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, jumlah petugas KPPS (dalam negeri) disebutkan sebanyak 7 orang. Sedangkan KPPS Luar Negeri diberikan ruang pilihan, paling sedikit 3 orang. Mengapa UU hanya memberikan ruang pilihan jumlah kepada KPPS Luar Negeri, tapi KPPS dalam negeri tidak?. Disini menurut penulis perlu juga dilakukan revisi dengan ketentuan: KPPS (dalam negeri) paling sedikit 3 orang dan paling banyak 7 orang, sehingga, TPS yang jumlah pemilihnya sedikit bisa menyesuaikan jumlah petugasnya. Bisa dibayangkan, selama ini 7 petugas KPPS melayani 21 pemilih dibandingkan 7 KPPS melayani hingga 500 pemilih. Sangat tidak proporsional, sementara dari sisi penghasilan mereka sama. Demikian juga jumlah petugas ketertiban bisa diatur minimal 1 orang dan maksimal 2 orang setiap TPS. Dari usulan redesain PPS dan KPPS ini, selain dapat diterapkan dan memenuhi aspek proporsionalitas, redesain ini juga menghemat anggaran pemerintah sebagai dampak pengurangan jumlah petugas badan adhoc. Tanpa revisi UU dan PKPU untuk redesain badan adhoc, maka kami tetap akan menghadapi masalah yang sama setiap pemilu/pemilihan. Demikian. Semoga opini ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan dalam usulan revisi UU Pemilu dan UU Pemilihan. Semoga..(*)  

Populer

Belum ada data.